Beritabali.com, BADUNG. Perang Puputan Badung 20 September 1906, dikenal sebagai salah satu peristiwa heroik di Bali, yang menceritakan keberanian rakyat Kerajaan Badung dalam menghadapi penjajah.
Dibalik cerita perang dengan peristiwa puputan (perang sampai titik darah penghabisan) melawan penjajah Belanda, terdapat kisah asmara segitiga yang melibatkan seorang putri raja dan 2 pangeran di lingkungan Puri Pemecutan dan Puri Denpasar waktu itu.
Tulisan kisah nyata ini merupakan hasil karya seniman yang juga keluarga Puri Pemecutan, Ngurah Gede Pemecutan.
Diceritakan kisah tantang kemakmuran Kerajaan Badung (Bandana Negara) jauh sebelum perang Puputan Badung pada tanggal 20 September 1906.
Suasana dan keberadaan Kerajaan Badung yang gemah ripah loh jinawi, tertib, aman dan tentram,rakyatnya makmur berkecukupan, sehingga kehidupan rakyat dan seni budaya itu, tumbuh dengan subur serta berkembang sangat baik.
Dalam keadaan demikian, Raja Badung I Gusti Ngurah Agung Pemecutan, berpikir-pikir tentang keadaan dan kondisi dirinya sendiri, yang secara fisik sudah lingsir (tua) dan sakit-sakitan.
Teringat Beliau tidak mempunyai putra laki-laki, yang akan menggantikan tahta Kerajaan, sesudah Beliau akan pergi untuk selamanya. Hanya anak putri yang sudah dewasa Beliau miliki, sebagai ahli waris satu-satunya.
Dalam kesedihan yang menyelimuti pikiran, tiba-tiba Beliau teringat akan salah satu dari dua orang putra yang kemungkinan akan dapat diharapkan sebagai pengganti dirinya, dan mendampingi sang putri, Anak Agung Ayu Oka, sebagai
Raja Badung di kemudian hari.